Pertanyaan, “Apakah diperbolehkan membeli barang sitaan negara, semisal barang selundupan yang dijual oleh negara dengan sistem lelang terbuka?”
Jawaban Syekh Muhammad Ali Farkus, “Barang dagangan atau berbagai barang terlarang yang disita oleh negara itu ada dua macam. Boleh jadi, penyitaan yang dilakukan oleh negara tersebut bisa dibenarkan oleh syariat karena penyitaan tersebut dalam rangka mewujudkan kepentingan bersama seluruh bangsa serta mempertahankan stabilitas ekonomi dan sosial. Mungkin juga, penyitaan tersebut tidak bisa dibenarkan oleh syariat.
Sikap hati-hati dalam beragama mengharuskan kita untuk menjaga diri untuk tidak berperan serta memperdagangkan harta milik orang lain tanpa seizin pemiliknya, baik barang sitaan tersebut diperdagangkan dengan cara lelang terbuka atau pun lelang tertutup. Hal ini kita lakukan karena khawatir terjerumus dalam tindakan memakan harta orang lain dengan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh agama, yang merupakan perbuatan haram berdasarkan firman Allah,
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ
Yang artinya, ‘Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara-cara yang tidak bisa dibenarkan.’ (Q.s. Al-Baqarah:188)
كُلُّ المُسْلِمِ عَلَى المُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
Nabi bersabda, ‘Setiap muslim itu haram mengganggu darah, harta, dan kehormatan muslim yang lain.’ (H.r. Muslim)
Alasan tidak bolehnya membeli harta sitaan negara adalah karena harta sitaan negara itu tidak lepas dari tiga kemungkinan.
Pertama, penyitaan yang dilakukan oleh negara atas harta milik orang lain tanpa alasan yang bisa dibenarkan oleh syariat, semisal penyitaan barang selundupan. Membeli barang sitaan negara yang berasal dari barang selundupan dinilai sebagai tindakan membeli barang hasil rampasan dari pihak yang merampasnya.
Kedua, penyitaan yang dilakukan oleh negara atas harta orang lain tersebut berstatus sebagai hukuman. Tindakan negara semisal ini bisa agak dibenarkan, mengingat pendapat sebagian ulama yang memperbolehkan hukuman ta’zir dalam bentuk hukuman finansial. Namun, sebenarnya adanya kasus-kasus tertentu yang padanya diperbolehkan hukuman ta’zir (berupa hukuman finansial) bukanlah alasan yang memperbolehkan penguasa untuk merampas harta orang lain dengan alasan memiliki kekuasaan untuk memberikan hukuman ta’zir.
Pendapat yang paling kuat mengenai hukuman ta’zir dalam bentuk finansial adalah terlarangnya memberikan hukuman ta’zir dalam bentuk hukuman finansial, karena perbuatan tersebut terhitung tindakan melewati batas terhadap harta orang lain. Hal ini juga merupakan tindakan yang tidak disukai oleh Allah, kecuali dalam kasus-kasus yang diperbolehkan oleh dalil syariat. Adapun tindakan penyitaan barang selundupan, itu tidaklah termasuk kasus yang diperbolehkan oleh dalil syariat.
Akan tetapi, dengan menimbang bahwa hukuman ta’zir dengan hukuman finansial adalah masalah yang diperselisihkan ulama, kita katakan bahwa tidak membeli atau pun memperdagangkan barang yang tidak jelas kehalalannya adalah tindakan yang lebih menyelamatkan agama dan lebih menjaga diri dari komentar miring pihak-pihak tertentu. Nabi bersabda,
فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ
‘Barang siapa yang menjaga diri dari harta yang tidak jelas kehalalannya maka dia telah menjaga bersihnya agama dan kehormatannya. Siapa saja yang terjatuh dalam hal-hal yang tidak jelas kehalalannya maka dia pasti akan terjerumus dalam hal yang jelas haramnya.’ (H.r. Bukhari dan Muslim)
Ketiga, pemilik barang yang barangnya disita oleh negara itu mengizinkan dengan penuh suka rela kepada orang lain untuk membeli barangnya. Jika demikian, diperbolehkan membeli barang sitaan tersebut, mengingat sabda Nabi,
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
‘Tidaklah halal memanfaatkan harta milik seorang muslim melainkan dengan kerelaan hatinya.’ (H.r. Ahmad; dinilai sahih oleh Al-Albani di Al-Irwa’, 5:279).”
Sumber: http://www.ferkous.com/rep/Bi150.php
Artikel www.PengusahaMuslim.com